JIWA SAGARA (Mencintai laut sepenuh jiwa)
Lirik lagu anak “Nenek moyangku seorang pelaut…” saya kira benar adanya. Buktinya ada di relief candi, prasasti, sampai cara pikir pendahulu kita untuk menjelaskan suatu hal.
Dalam tasawuf misalnya. Berlainan dengan tasawuf Persia yang sering mengemukakan simbol cinta, anggur dan kebun, sastra tasawuf Melayu biasanya menggunakan simbol pelayaran laut dengan perahu atau kapal.
Pada dasarnya, simbolisme kapal dan pelayaran juga terdapat di dalam puisi mistik Sufi Parsi, tetapi umumnya pemakaian lambang tersebut agak terbatas. Sedangkan dalam puisi Sufi Melayu “simbol besar” anggur dan kebun mawar kurang lazim dipakai, tetapi syair-syair mistik yang panjang lebar tentang perahu cukup banyak terdapat. Simak saja puisi puisis sufistik karya Hamzah Fansuri misalnya.
Jika yang kau inginkan hanya butiran pasir maka cukup berdiri di pinggir laut tapi jika yang kau inginkan butiran mutiara engkau harus menyelam ke dalam nya. Berdiri di tepi pantai tentu sangat berbeda dengan menyelam. Diperlukan keahlian dan bimbingan untuk bisa mendapatkan ilmu menyelam agar bisa selamat apalagi untuk menemukan sebutir mutiara yang tersembunyi di dasar laut. Syariat ibarat di pinggir laut, hakikat makrifat adalah mutiara, sedangkan tarekat adalah proses menyelam di dalam laut.
Mutiara hanya bisa di dapat dengan menyelam, secara sungguh sungguh, penuh kesabaran.
-Ronal Surapradja-
JIWA SAGARA adalah kemeja casual dengan kerah tidur dengan aplikasi batik abstrak .